Info Delegasi
Pengadilan Tinggi
Logo Pengadilan Tinggi Palangkaraya

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pengadilan Tinggi Palangkaraya

Jalan RTA. Milono No.09 Telp. (0536) 3221853, Fax. (0536) 3221854 Palangka Raya Propinsi Kalimantan Tengah

Email: ptpalangka@gmail.com, Instagram: pengadilan_tinggi_palangkaraya, Facebook: pengadilantinggi.palangkaraya.1

banggamelayani berakhlak


Logo Artikel

690 ARTIKEL BERDISIPLIN NORMATIF DALAM MELAKSANAKAN MUSYAWARAH HAKIM

Artikel

ARTIKEL - BERDISIPLIN NORMATIF DALAM MELAKSANAKAN MUSYAWARAH HAKIM

AGUNG ISWANTO ARTIKEL

BERDISIPLIN NORMATIF DALAM MELAKSANAKAN MUSYAWARAH HAKIM

BRIGJEN TNI (PURN) AGUNG ISWANTO, S.H., M.H.
(HAKIM AD HOC TIPIKOR TINGKAT BANDING PENGADILAN TINGGI PALANGKARAYA)

 

A. Pendahuluan

Proses bagian akhir dari tugas pengadilan dalam memeriksa suatu perkara tindak pidana adalah pengambilan keputusan yang diawali dengan musyawarah untuk menentukan putusan apa yang nantinya akan dijatuhkan terhadap pelaku pidana.

Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutnya dengan istilah “Musyawarah Majelis Hakim” sedangkan Undang Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (menggantikan UU No. 4/2004) menyebut dengan istilah “Sidang Permusyawaratan” dan dalam praktik peradilan sering disingkat menjadi “Musyawarah Hakim” atau muskim dilakukan dalam sebuah persidangan yang tertutup, dimana dalam Musyawarah Majelis Hakim tersebut masing masing Hakim yang terlibat pemeriksaan persidangan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat hukumnya terhadap perkara yang sedang ditangani secara rahasia tanpa diketahui orang lain yang bukan Majelis Hakim.

Tujuan pertama yang ingin dicapai dan harus diupayakan dari musyawarah adalah kata mufakat, akan tetapi kadang terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat dipertemukan.

Hal hal yang sering muncul menjadi masalah dan harus dipahami dalam Musyawarah Majelis Hakim adalah tentang peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, teknik pelaksanaan Musyawarah Majelis Hakim, keikutsertaan Panitera Pengganti, Produk produk administrasi yang harus dibuat, Sikap Majelis dalam hal adanya perbedaan pendapat dan bagaimana pranata Disseting Opinion (DO) dan Concuring Opinion (CO).

 

B. Dasar Hukum tentang Musyawarah Majelis Hakim dalam perkara pidana.

Beberapa peraturan perundangan yang mengatur masalah Musyawarah Majelis Hakim adalah :

1. Pasal 182 Ayat (3); (4); (5); (6) dan (7) Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
2. Pasal 14 Undang Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3. Buku II MARI Tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum.
4. Kep KMA No. 359/KMA/SK/XII/2022 tanggal 16 Desember 2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan

Dalam Pasal 182 ayat (4); (5); (6) dan (7)  Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pokoknya diatur tentang hal-hal sebagai berikut:

1. Musyawarah harus didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
2. Hakim Ketua dalam pelaksanaan Musyawarah Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada Hakim yang termuda sampai Hakim yang tertua untuk memberikan pandangan, pendapat dan saran, disusul oleh Hakim Ketua memberikan pandangan, pendapat dan saran pada urutan terakhir. Pendapat tersebut harus disertai pertimbangan dan alasannya.
3. Hakim Ketua mengupayakan agar putusan dalam musyawarah merupakan hasil permufakatan bulat. Apabila hal itu sesudah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, berlaku ketentuan sebagai berikut:
4. Putusan diambil dengan suara terbanyak (Voting);
5. Apabila ketentuan tersebut pada huruf a). tidak dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan Terdakwa.
6. Pelaksanaan pengambilan putusan dalam Musyawarah Majelis Hakim dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia.

Oleh R. Soesilo dan M. Karjadi dalam bukunya : “ KUHAP dengan penjelasan resmi dan komentar” ditambahkan komentar yang sama dengan bunyi undang undang bahwa pada asasnya putusan majelis hakim merupakan hasil permufakatan bulat, akan tetapi kalau tidak tercapai berlaku ketentuan sebagai berikut :

1. Putusan diambil dengan suara terbanyak;
2. Jika ketentuan tersebut pada 1, tidak juga dapat diperoleh hasil, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi Terdakwa.

Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat dalam KUHAP dan komentarnya terlihat bahwa KUHAP menganut system voting dan belum mengenal adanya perbedaan pendapat dalam putusan pengadilan.

Selanjutnya dalam dalam Pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) Undang Undang RI Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa :

1. Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia;
2. Dalam sidang permusyawaratan, setiap Hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari putusan;
3. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dalam perkembangannya Undang Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 mulai mengenal adanya istilah “pendapat berbeda”  tetapi belum didapat istilah Dissenting Opinion.

Pada Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KM/032/SK/IV/2006 atau lebih dikenal dengan Buku II MA tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum, menggunakan istilah “Rapat Permusyawaratan”, disebutkan bahwa :

1. Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia (Pasal 19 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004).
2. Ketua Majelis akan mempersilahkan Hakim Anggota II untuk menemukakan pendapatnya, disusul oleh Hakim Anggota I dan terakhir Ketua Majelis akan menyampaikan pendapatnya. Semua pendapat harus dikemukakan dengan jelas dengan menunjuk yurisprudensi tetap atau doktin yang mantap.
3. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan dalam hal tidak dicapai mufakat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari putusan.

Ketentuan dalam Buku II, tentang “rapat musyawarah” menggunakan istilah yang ada pada Undang Undang RI No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah diganti dengan Undang Undang RI No. 48 Tahun 2009, dimana telah mewajibkan pendapat hakim yang berbeda untuk dimuat juga dalam putusan dan dalam Kep KMA No. 359/KMA/SK/XII/2022 tanggal 16 Desember 2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan telah memberikan contoh format/template pembuatan pendapat hakim yang berbeda tersebut.

 

C. Pengertian Musyawarah Majelis Hakim.

Kata Musyawarah berasal dari Bahasa Arab yaitu Syawara yang artinya berunding, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), musyawarah merupakan pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan.

Undang Undang RI No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum maupun dalam Undang Undang RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tidak memberikan penjelasan tentang pengertian Musyawarah Mejelis Hakim, hanya dalam Pasal 14 ayat (4) Undang Undang RI No. 48 Tahun 2009 dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan Ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.

Menurut Prof. DR. H. Abdul Manan, S.H. S.Ip. M.Hum dalam bukunya yang berjudul Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Musyawarah Majelis Hakim adalah merupakan perundingan yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap suatu perkara yang diajukan kepadanya dan sedang dalam proses persidangan pengadilan yang berwenang. Musyawarah Majelis Hakim dilaksanakan secara rahasia, maksudnya apa yang dihasilkan dalam rapat Majelis Hakim tersebut hanya diketahui oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara sampai putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

 

D. Substansi dan Teknis Musyawarah Hakim.

Berdasarkan aturan-aturan tentang Musyawarah Hakim yang ada dan pendapat ahli hukum tersebut di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa substansi atau hakekat Musyawarah Majelis Hakim adalah rapat perundingan yang berisi tukar pendapat hukum antar Hakim pada suatu Majelis dalam mendapatkan kesimpulan putusan terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa.

Tujuan diadakan Musyawarah Majelis Hakim adalah  menyamakan  persepsi agar perkara yang sedang diadili dapat dijatuhkan putusan yang seadil adilnya, bermanfaat dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Syarat formil dalam sidang Musyawarah Majelis Hakim adalah :

1. Dilakukan di ruang sidang,
2. Sidang bersifat tertutup untuk umum dan rahasia. (vide Pasal 14 ayat (1) UU N0. 48 Tahun 2009).
3. Dihadiri oleh Majelis Hakim lengkap yang menyidangkan perkara yang bersangkutan, dapat dengan atau tanpa Panitera Pengganti.

Peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan bahwa sidang Musyawarah Majelis Hakim boleh atau tidak boleh diikuti oleh Panitera Pengganti persidangan, tetapi hanya menyebutkan bahwa Musyawarah Majelis Hakim bersifat rahasia.

Tentang kehadiran Panitera Penggani dalam Musyawarah Majelis Hakim ada dua pandangan, pertama Prof. Dr. H. Abdul Manan berpendapat bahwa karena musyawarah itu bersifat rahasia dan sesuai dengan Pasal 17 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1970 maka kehadiran Panitera Pengganti tidak dibenarkan untuk mengikuti rapat Musyawarah Majelis Hakim.

Pandangan ke dua berpendapat bahwa dalam Pasal 51 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “penetapan, ihtisar rapat permusyawaratan dan berita acara pemeriksaan sidang ditanda-tangani oleh Ketua Majelis Hakim dan  Panitera sidang”, ini berarti Panitera sidang (Panitera Pengganti) mempunyai tugas dan tanggungjawab membuat ihktisar rapat dan menandatanganinya sehingga rasionya agar dapat membuat ihtiar rapat seorang Panitera Pengganti harus hadir dalam Musyawarah Majelis Hakim.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kehadiran Panitera Pengganti untuk ikut dalam Musyawarah Majelis Hakim, bisa saja dibenarkan dengan catatan Majelis Hakim memandang perlu akan kehadiran Panitera Sidang, hal itu sebaiknya Kita serahkan kepada pandangan Ketua Majelis.

Sebelum mengikuti rapat Musyawarah Majelis Hakim, seorang Hakim sebaiknya mempersiapkan pendapat hukum yang akan disampaikan dengan mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat, kesimpulan hukum dan harus pula memuat alasan dan dasar pendapatnya.

Ada 2 (dua) hal yang harus dipertimbangkan oleh seorang Hakim sebelum ia menyampaikan pendapatnya, ketentuan mengenai dua hal ini merupakan ketentuan dalam hukum acara pidana (KUHAP) dimana struktur pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :

1. Pertama-tama mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. (apakah Terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya);
2. Kemudian mempertimbangkan tentang hukumnya (apakah perbuatan Terdakwa merupakan tindak pidana dan Terdakwa bersalah, sehingga bisa dijatuhi pidana).

Dalam teori pengambilan putusan, masing masing Hakim mempunyai hak yang sama untuk melakukan 3 (tiga) tahap yang mesti dilakukan Hakim untuk memperoleh putusan yang baik dan benar, memberikan rasa keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan.

Pertama: Tahap Konstatir.

Mengkonstatir peristiwa hukum yang terjadi dengan melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadi suatu peristiwa kongkrit, harus pasti, bukan dugaan, yang didasarkan pada alat alat bukti yang ada.

Kedua : Tahap Kualifisir.

Mengkualifisir peristiwa hukum yang didapat pada fakta fakta hukum Hakim berusaha menemukan hukumnya secara tepat. Peristiwa kongkrit yang sebelumnya telah dikonstatir sebagai peristiwa yang benar benar terjadi harus dikualifisir. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa peristiwa yang benar benar terjadi itu termasuk peristiwa hukum mana dan hukumnya apa, dengan kata lain harus ditemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir.

Ketiga : Tahap Konstituir.

Mengkonstituir, yaitu menetapkan penjatuhan hukumannya atau memberikan keadilan terhadap Terdakwa.

Dalam praktek jalannya rapat Musyawarah Majelis Hakim sebagaimana disebutkan dalam peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :

1. Hakim Ketua Majelis memimpin jalannya rapat musyawarah.
2. Kesempatan pertama untuk mengemukakan pendapat hukum diberikan kepada Hakim Anggota II atau Hakim yang paling yunior.
3. Kesempatan berikutnya diberikan kepada Hakim Anggota I atau Hakim yang lebih senior untuk mengemukakan pendapat hukumnya.
4. Kesempatan terakhir dipergunakan oleh Ketua Majelis untuk menyatakan pendapatnya.
5. Semua pendapat harus dikemukakan dengan jelas dengan menunjuk dasar hukumnya, disertai pertimbangan beserta alasannya.

Pasal 182 ayat (5) dan (6) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menjelaskan bahwa pada dasarnya putusan dalam Musyawarah Majelis Hakim merupakan permufakatan bulat (Unanimous), jika hal itu  telah diusahakan dengan sungguh sungguh tetapi tidak dapat dicapai maka berlaku ketentuan untuk mengambil putusan suara terbanyak (voting), Jika tidak tercapai suara terbanyak maka pendapat yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan bagi Terdakwa. Asas ini harus dipatuhi dan dilaksanakan dalam setiap Musyawarah Majelis Hakim termasuk apabila terdapat perbedaan pendapat baik dalam bentuk dissenting opinion (DO) maupun concurring opinion (CO).

Pasal 182 ayat (7) KUHAP memerintahkan agar pelaksanaan pengambilan putusan dalam Musyawarah Majelis Hakim harus dicatatkan dalam  buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut bersifat rahasia.

Pasal 51 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan dan berita acara pemeriksaan sidang ditanda-tangani oleh Ketua Majelis Hakim dan Panitera siding (Panitera Pengganti).

Penjelasan Pasal 51 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak menyebutkan apa arti iktisar rapat musyawarah, dalam praktek bendel A yang dimulai dari Surat Dakwaan tidak ditemukan adanya iktisar rapat musyawarah, di dalam Buku II ada yang disebut buku khusus yang dilelola oleh Ketua Pengadilan, dalam pelaksanaannya itu berlaku bila ada perbedaan pendapat yang tidak bisa dikompromikan dalam musyawarah, sedangkan bila terjadi kesepakatan yang bulat dalam musyawarah Hakim maka tidak dicatatkan sama sekali, cukup dicatatkan dalam buku himpunan putusan.

 

E. Dissenting Opinion (DO) dan Concuring Opinion (CO).

Di dalam Lembaga peradilan terdapat Hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum yang diberikan kewenangan dan tanggung jawab oleh Undang-Undang untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang datang padanya. Seorang Hakim dituntut harus mampu untuk memberikan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat di berbagai aspek hukum.

Pentingnya peran seorang Hakim dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang Kehakiman. Salah satu perubahan yang sangat mendasar dalam revisi Undang Undang kekuasaan kehakiman dari Undang Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 (yang telah dicabut) menjadi Undang Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 adalah diaturnya pengaturan Lembaga perbedaan pendapat dalam Pasal 14 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sebenarnya konsep Dissenting Opinion (DO) berasal dan lebih sering digunakan di negara-negara yang menganut system hukum anglo saxon seperti Amerika Serikat dan Kerajaan Inggris. Pada Sistem Hukum tersebut dissenting Opinion digunakan jika terjadi perbedaan pendapat antara seorang Hakim dengan Hakim lainnya yang putusannya bersifat mayoritas. Pendapat Hakim yang berbeda dengan putusan  tersebut akan ikut dilampirkan menjadi satu kesatuan dalam putusan dan menjadi dissenting opinion.

Di Indonesia awalnya dissenting opinion ini tidak diterapkan karena system Hukum Indonesia lebih condong menganut system Eropa Kontineltal atau Civil Law System. Dalam perkembangannya dissenting opinion mulai diperkenalkan pada Pengadilan  Niaga, namun pada saat itu telah diperbolehkan untuk diterapkan di Pengadilan lain dan istilah dissenting opinion mulai mencuat dikarenakan kasus kasus korupsi yang ditangani oleh Mahkamah Agung (MA) serta kasus kasus yang ditangani Mahkamah Konstitusi (MK).  

Hingga sampai dikeluarkannya Undang Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman barulah pranata dissenting opinion dalam praktek peradilan di Indonesia mempunyai landasan hukum.

Menurut Prof. Bagir Manan dalam tulisannya yang berjudul “ Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia” yang dimuat pada Majalah Hukum Varia Peradilan No. 253 (Th. Ke XXI, 2016) menjelaskan bahwa Dissenting Opinion adalah pranata yang membenarkan perbedaan pendapat Hakim (minoritas) atas putusan pengadilan.

Menurut Pontang Moerad dalam bukunya yang berjudul “ Pembentukan Hukum melalui putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana” disebutkan bahwa Dissenting Opinion merupakan opini atau pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis Hakim yang tidak setuju dengan keputusan  yang diambil oleh mayoritas anggota Majelis Hakim.

Menurut DR. Artijo Alkostar dalam tulisannya yang berjudul “ Permasalahan Gratifikasi dan Pertanggung-jawaban Korporasi dalam Undang Undang Korupsi” yang dimuat pada Majalah Hukum Varia Peradilan No.330 (Mei, 2013) menjelaskan bahwa Dissenting Opinion (DO) adalah pendapat seorang Hakim yang berbeda dengan Hakim Mayoritas, baik tentang pertimbangan hukum maupun amar putusannya. Sedangkan pengertian Concuring Opinion (CO) adalah pendapat seorang hakim yang mengikuti/sependapat dengan pendapat hakim mayoritas tentang amar putusannya tetapi berbeda dalam pertimbangan hukumnya.

Pasal 14 ayat (3) Undang Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan hal hal sebagai berikut :

Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat. pendapat Hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan”.

Demikian halnya dalam ketentuan Pasal 30 ayat (3) Undang Undang RI Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung dinyatakan : “Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat tercapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan”.

Berdasarkan asas Primus Interpares jika terjadi perbedaan pendapat diantara anggota Majelis Hakim maka pendapat terbanyaklah yang diikuti. Pendapat Hakim yang kalah suara, meskipun sebagai Hakim Ketua ,harus menyesuaikan dengan pendapat mayoritas. Namun demikian menurut Prof. Bagir Manan (Varia Peradilan No. 253/2006) dalam keadaan tertentu putusan dapat disepakati berdasarkan pendapat Ketua Majelis, sepanjang alasannya argumentatif, dapat diartikan dalam hal terjadi pendapat yang beraneka ragam, tidak ada yang terbanyak diantara Majelis Hakim maka yang paling “aman” adalah menyepakati pendapat Ketua Majelis.

Fenomena lainnya yang muncul adalah concurring opinion (CO), dalam praktek kadang muncul sebagai bentuk pengajuan alasan yang berbeda dalam pengambilan keputusan. Concurring Opinion ini biasanya timbul karena adanya perbedaan pendapat tentang legal reasoning suatu perkara meskipun putusan akhirnya atau amar putusan telah terdapat kesepakatan. Perbedaan ini pun wajib dicantumkan dalam putusan yang biasanya dimuat dalam bagian akhir putusan setelah putusan mayoritas. Filosofi adanya hukum dissenting opinion adalah untuk memberikan akuntabilitas kepada masyarakat pencari keadilan dari para Hakim yang memutus perkara.

Ada kalanya perbedaan hakim dalam menilai dan memutuskan suatu perkara tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor subyektif seperti perilaku apriori, sikap emosional atau sikap arrogance power dan sikap moral. Sedangkan faktor lainnya adalah faktor obyektif terdiri dari latar belakang sosial budaya dan profesionalisme Hakim. Kedua faktor tersebut tidak lepas dari diri Hakim sebagai seorang pribadi atau individu.

Pada prinsipnya Dissenting Opinion adalah jalan terakhir bagi Hakim untuk menyatakan pendapat yang berbeda dalam Putusan secara bertanggung jawab, sehingga  tidak mesti setiap terjadi perbedaan pendapat berujung pada dissenting opinion. Perlu kesepahaman untuk menetapkan apakah terjadi perbedaan pandangan secara substansial sehingga putusan harus dijatuhkan dengan prosedur dissenting opinion.

Lahirnya dissenting opinion atau Concuring Opinion hendaknya tidak untuk diagung-agungkan sebagai salah satu bentuk kemandirian Hakim atau sebaliknya dipandang negatif dengan alasan tidak tercipta suatu mufakat bulat yang menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam system KUHAP, karena dissenting opinion dan Concuring Opinion adalah benar benar manifestasi atas kemandirian hakim dalam memutus perkara. Argumentasi dissenting opinion dan Concuring Opinion bila dilakukan dengan sungguh-sungguh dapat pula dipandang sebagai substansi yang patut dipertimbangkan dalam penilaian sebuah putusan yang berkualitas baik dan dapat pula menjadi sumber inspirasi bagi para peneliti atau mahasiswa untuk dijadikan bahan kajian ilmiah .

Contoh Putusan Dissenting Opinion :

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus An. Terdakwa Sdr. Ahmad Fathanah dalam kasus suap pengaturan kuota impor daging sapi Kementerian Pertanian.

Putusan Majelis : Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). dipidana Penjara selama 14 (empat belas) tahun, denda 1 (satu) Miliar. Perampasan beberapa harta Terdakwa untuk Negara.

Pendapat berbeda dari 2 orang Majelis Hakim : Jaksa KPK tidak berwenang mengajukan dakwaan dan tuntutan tindak pidana pencucian uang (TPPU), karena itu Surat Dakwaan mengenai pencucian uang harus dinyatakan tidak diterima. (Pelajari Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 39/Pid.Sus/TPK /2013 /PN.JKT.PST tanggal 4 Nopember 2013).

Contoh format Putusan Dissenting Opinion : (template, diletakkan pada bagian akhir putusan sebelum amar putusan).

……………………………………………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………………………………………….

Menimbang bahwa dalam musyawarah Majelis Hakim, tidak dapat dicapai mufakat bulat karena Hakim Ketua/Hakim Anggota… berbeda pendapat dengan pertimbangan sebagai berikut :

……………………………………………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………………………………………….

 

F. Kesimpulan

1. Bahwa proses sidang Musyawarah Majelis Hakim atau Sidang Permusyawaratan atau Musyawarah Hakim merupakan bagian yang terpenting dan menentukan dalam sebuah proses penyelesaian perkara dan agar putusan yang dibuat menjadi legal justice karenanya harus memenuhi syarat formil dan materiil;
2. Bahwa setiap putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim atas suatu perkara, harus berdasarkan hasil rapat Musyawarah Majelis Hakim lengkap yang disepakati seluruh anggota Majelis Hakim dalam sidang yang tertutup dan bersifat rahasia;
3. Bahwa musyawarah Majelis Hakim dapat dihadiri atau tanpa kehadiran Panitera (Panitere Pengganti) sidang tergantung pada pandangan Ketua Majelis, sejauh mana keberadaannya diperlukan;
4. Bahwa terjadinya dissenting Opinion (DO) dan concruing opinion (CO) dalam suatu perkara tidak lepas dari adanya otonomi kebebasan Hakim dalam menjatuhkan putusan yang tidak dapat diintervensi oleh pihak lain baik di dalam maupun di luar pengadilan.\
5. Bahwa dissenting opinion (DO) dan concruing opinion (CO) pada putusan pidana tidak menimbulkan akibat hukum dalam penjatuhan pidana terhadap Terdakwa.
6. Bahwa peraturan perundang-undangan belum sepenuhnya mengatur tentang mekanisme disseting opinion (DO)/concurring opinion (CO) dan akibat hukumnya.
7. Musyawarah Majelis Hakim wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum acara.
8. Usahakan semaksimal mungkin Musyawarah Majels Hakim menghasilkan permufakatan yang bulat (Unanimous).

Dalam hal karena adanya perbedaan pendapat yang substansial dan wajib dibuat Disseting Opinion atau Concuring Opinion maka tidak perlu ragu,  buatlah Disseting Opinion atau Concuring Opinion dengan baik dan benar yang mencerminkan nilai nilai  keadilan, kebenaran, penguasaan meteri hukum dan fakta, etika serta moral.

  

 Referensi

1. Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
2. Undang Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3. Undang Undang RI No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang Undang Nomor 2 tahun 1086 tentang Peradilan Umum
4. Buku II MARI Tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum
5. DR. H. Abdul Manan, S.H. S.Ip. M.Hum dalam bukunya : “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama”.
6. Soesilo dan M. Karjadi dalam bukunya : “ KUHAP dengan penjelasan resmi dan komentar”.
7. Pontang Moerad dalam bukunya : “ Pembentukan Hukum melalui putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana”
8. Majalah Hukum Varia Peradilan No.330 (Mei, 2013).
9. Majalah Hukum Varia Peradilan No. 253 (Th. Ke XXI, 2016).
10. Keputusan  Ketua Mahkamah Agung RI  Nomor : 359/KMA/SK/XII/2022 tanggal 16 Desember 2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan

Berita/Pengumuman Mahkamah Agung


Sistem Informasi Penelusuran Perkara

SIPPAplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), merupakan aplikasi administrasi dan penyediaan informasi perkara baik untuk pihak internal pengadilan, maupun pihak eksternal pengadilan. Pengunjung dapat melakukan penelusuran data perkara (jadwal sidang sampai dengan putusan) melalui aplikasi ini.

Lebih Lanjut

Pencarian Dokumen Putusan di Direktori Putusan Mahkamah Agung

DirPutPencarian cepat Dokumen Putusan di Database Direktori Putusan Mahkamah Agung Agung Republik Indonesia

Pencarian Peraturan Perundangan, Kebijakan Peradilan dan Yurisprudensi

DJIHPencarian cepat peraturan dan kebijakan dalam Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia

 


Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas