Artikel
ARTIKEL - PENGALIHAN JENIS PENAHANAN OLEH MAJELIS HAKIM DALAM PERKARA TIPIKOR
PENGALIHAN JENIS PENAHANAN OLEH MAJELIS HAKIM DALAM PERKARA TIPIKOR
BRIGJEN TNI (PURN) AGUNG ISWANTO, S.H., M.H.
(HAKIM AD HOC TIPIKOR TINGKAT BANDING PENGADILAN TINGGI PALANGKARAYA)
A. LATAR BELAKANG.
Hak asasi manusia dalam bentuk kebebasan dan kemerdekaan seseorang di Indonesia sangatlah dilindungi oleh Undang Undang, hal itu dapat terlihat salah satu diantaranya dalam ketentuan Pasal 7 Undang Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : “ Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, pensitaan selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang”.
Ini mengandung arti bahwa pembatasan kebebasan dan kemerdekaan terhadap seseorang dalam bentuk tindakan penangkapan, tindakan penahanan, tindakan penggeledahan, tindakan penyitaan dan tindakan pemeriksaan surat baru dapat dilakukan apabila ada perintah yang diberikan oleh undang undang kepada pejabat yang berwenang.
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan kewenangan kepada pejabat tertentu yaitu Penyidik di tingkat penyidikan, Penuntut Umum ditingkat penuntutan dan Hakim di tingkat pemeriksaan di depan persidangan untuk melakukan pembatasan terhadap kebebasan dan kemerdekaan seseorang dalam bentuk tindakan penahanan. Namun demikian sistem peradilan pidana Kita yang berjenjang dari penyidikan, penuntutan dan persidangan itu juga memberikan kewenangan sebaliknya kepada pejabat pejabat tertentu tersebut di atas untuk melakukan pembebasan dari penahanan, penangguhan penahanan, pembantaran atau pengalihan penahanan terhadap Tersangka/Terdakwa baik terhadap pelaku tindak pidana umum atau tindak pidana khusus termasuk Tindak Pidana Korupsi.
Proses penahanan, pembebasan penahanan dan penangguhan penahaan, pembantaran serta pengalihan penahanan dalam perkara korupsi harus dilakukan dengan pertimbangan alasan yang jelas dan didasarkan pada Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), karena pada dasarnya dalam hal hukum acara pidana korupsi tetap berlaku hukum acara dalam KUHAP, kecuali dalam undang undangnya diatur secara khusus, sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain dilakukan dengan didasarkan pada alasan-alasan subyektif, formal dan obyektif sebagaimana ditentukan oleh KUHAP, tindakan penahanan, pembebasan penahanan, penangguhan penahaan dan pembantaran serta pengalihan penahanan dalam perkara korupsi juga harus benar-benar mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat mengingat tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang banyak mendapatkan perhatian masyarakat, hal itu disebabkan karena pada hakekatnya yang menjadi korban dari tindak pidana korupsi adalah rakyat, dampak korupsi dapat mengakibatkan kerusakan besar secara meluas yang langsung mempengaruhi kehidupan rakyat, sehingga peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi tersebut telah diberikan ruang yang cukup oleh Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana tersurat dalam pasal 41.
Selain itu pada tahap pemeriksaan pengadilan dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi oleh Pasal 29 s/d 32 Undang Undang RI Nonor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, diberikan batasan waktu penyelesaian perkara yang ketat kepada pengadilan baik di tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi serta Peninjauan Kembali, sehingga penetapan penahanan, pembebasan penahanan , penangguhan penahanan atau pembantaran serta pengalihan penahanan terhadap Terdakwa harus dipertimbangkan dampaknya terhadap efektifitas penggunaan waktu untuk kepentingan pemeriksaan di persidangan.
Tata cara, bentuk dan syarat syarat ketentuan apa yang harus dipenuhi untuk melakukan penahanan, pembebasan penahanan, pembantaran dan penangguhan penahanan telah diatur secara rinci dalam beberapa pasal di KUHAP yaitu dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 31, namun untuk pengalihan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 23 KUHAP dengan penjelasan cukup jelas tanpa disertai rincian penjelasan tentang tata cara dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi. Untuk itu perlu dibahas sejauh mana peraturan perundangan mengaturnya dan seperti apa pelaksanaan praktek yang terjadi di dalam persidangan.
B. RUMUSAN MASALAH.
Berdasarkan pada latar belakang di atas, perlu dibahas permasalahan yuridis dan empiris tentang pengalihan jenis penahanan dalam perspektif Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan dalam praktek penyelesaian perkara tindak pidana korupsi.
C. PEMBAHASAN.
Penahanan adalah sebuah proses yang terdapat dalam system peradilan pidana dimana Tersangka atau Terdakwa ditempatkan di suatu tempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim menurut cara yang diatur dalam undang undang dalam rangka untuk kepentingan penyelesaian perkara.
Dalam prakteknya pada tahap pemeriksaan sidang di pengadilan, dimungkinkan timbul hal-hal/keadaan-keadaan yang berhubungan dengan Terdakwa sehingga Hakim berpendapat bahwa Terdakwa yang semula tidak ditahan perlu untuk ditahan atau Terdakwa yang semula ditahan menjadi dibebaskan atau Terdakwa yang semula ditahan ditangguhkan penahanannya atau Terdakwa yang semula ditahan di Rutan dialihkan menjadi jenis penahanan yang lain atau sebaliknya.
Sebelum sampai pada pembahasan pengalihan jenis penahanan, kita bahas dahulu sekilas tentang penahanan, pembebasan penahanan, penangguhan penahanan dan pembantaran;
1. Perintah Penahanan.
Dalam melakukan penahanan, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar penahanan terhadap Tersangka atau Terdakwa menjadi sah menurut hukum yaitu Syarat Subyektif dan Syarat Obyektif/Yuridis/Formal sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP. Sebagai Syarat Subyektif, perintah penahanan dilakukan terhadap seorang Tersangka atau Terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti-bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa Tersangka atau Terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi kembali tindak pidana, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP . kekhawatiran tersebut bersifat subyektif berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pejabat yang berwenang menahan. Sedangkan Syarat Obyektif/Yuridis/Formal, penahanan hanya dapat dikenakan terhadap Tersangka atau Terdakwa yang diancam dengan pidana penjara lima 5 (tahun) atau lebih dan tindak pidana yang termasuk sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a dan b KUHAP.
Untuk perkara tindak pidana korupsi perumusan sanksi pidananya menggunakan sistem ancaman minimum khusus, namun dalam praktek syarat obyektif yang tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a dan huruf b KUHAP ini juga dapat diberlakukan, meskipun tindak pidana korupsi tidak ikut disebutkan dalam uraian bunyi Pasal 24 ayat (4) sub. b KUHAP.
Apabila Kita membicarakan tentang kewenangan Hakim untuk melakukan penahanan terhadap Terdakwa, maka Kita dapat menunjuk pada Pasal 20 ayat (3) KUHAP, yaitu : “Untuk kepentingan pemeriksaan Hakim di sidang pegadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan”.
Tata cara dan bentuk penetapan yang dikeluarkan oleh Hakim adalah :
1). Berisi perintah penahanan terhadap Terdakwa;
2). Dikeluarkan di depan persidangan;
3). Diberikan kepada Terdakwa;
4). Memuat dengan jelas identitas Terdakwa;
5).Mencantumkan alasan obyektif dan alasan subyektif penahanan ;
6). Menyebutkan tempat dimana Terdakwa ditahan.
Kewenangan Hakim untuk mengeluarkan perintah penahanan terhadap Terdakwa yang semula tidak ditahan, ada selama pemeriksaan di sidang berlangsung yaitu dimulai dari sidang dinyatakan dibuka sampai dengan pada saat pemeriksaan dinyatakan ditutup, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 190 huruf a KUHAP dengan ketentuan memenuhi kriteria Pasal 21 KUHAP dan terdapat alasan lain yang cukup untuk itu misalnya dalam rangka untuk mempermudah pemeriksaan di persidangan.
Secara teoritis alasan yang sah yang dipakai sebagai dasar hukum untuk memerintahkan penahanan terhadap Tersangka atau Terdakwa sesuai dengan Pasal 21 KUHAP adalah adanya alasan subyektif (Pasal 21 ayat (1) KUHAP) yang didukung dengan alasan obyektif/Yuridis/Formal (Pasal 21 ayat (4) KUHAP), tetapi dalam praktek seringkali penahanan terhadap Tersangka atau Terdawa hanya berdasarkan pada alasan subyektif saja, hanya semata digantungkan pada jenis tindak pidananya termasuk dalam tindak pidana berat dan khusus seperti perkara terorisme, perkara narkotika atau perkara tipikor .
2. Perintah Pembebasan penahanan.
Ada 2 (dua) Pasal sebagai dasar hukum untuk mengeluarkan perintah pembebasan penahanan terhadap Terdakwa yang ditahan yaitu Pasal 26 ayat (3) KUHAP dan Pasal 190 huruf b KUHAP.
Pasal 26 ayat (3) menyatakan “ Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya Terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi”.
Dalam praktek apabila Mejelis Hakim telah selesai melakukan pemeriksaan dan didapat fakta yang mengarah pada putusan pembebasan maka tidak jarang Majelis Hakim segera mengeluarkan penetapan pembebasan bagi Terdakwa dari tahanan sebelum pembacaan putusan akhir.
Selanjutnya dipertegas lagi dengan Pasal 190 huruf b KUHAP yang menentukan : “ Dalam hal Terdakwa ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya untuk membebaskan Terdakwa, jika terdapat alasan yang cukup untuk itu dengan mengingat ketentuan Pasal 30”. Dalam Pasal 30 KUHAP memberi kemungkinan kepada orang yang ditahan secara tidak sah untuk meminta ganti rugi sesuai ketentuan yang dimaksud dengan Pasal 95 dan Pasal 96 pada Bab XII KUHAP tentang Ganti Rugi dan Rehabilitasi.
Jadi ada 2 (dua) alasan utama untuk membebaskan Terdakwa dari tahanan, yaitu :
1). Dalam hal kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (3) KUHAP dan Hakim telah memperhitungkan dengan cermat agar jangan sampai masa tahanan yang sudah dijalani Terdakwa akan melebihi lamanya hukuman yang akan dijatuhkan.
2). Apabila Hakim melihat adanya penahanan yang dilakukan tidak sah menurut undang-undang.
Ada beberapa penyebab yang menjadikan suatu penahanan dianggap tidak sah menurut undang undang, yaitu :
(a). Penahanan bertentangan dengan Pasal 21 ayat (4) huruf a dan huruf b KUHAP.
Ini bisa terjadi pada saat Pengadilan menerima pelimpahan berkas perkara dari Penuntut Umum dan Terdakwanya berada dalam tahanan, namun setelah diteliti ternyata penahanannnya bertentangan dengan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, Contoh : Telah diketahui tindak pidana yang diancamkan terhadap Terdakwa kurang dari 5 (lima) tahun, sehingga Hakim harus segera mengeluarkan Terdakwa dari tahanan. Dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi ini jarang terjadi.
(b). Penahanan bertentangan dengan Pasal 24 s/d 29 KUHAP.
Panahanan dan perpanjangan penahanan yang lamanya melebihi ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 s/d 28 KUHAP adalah penahanan yang tidak sah dan demi hukum Tersangka/Terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan. Perpanjangan penahanan berdasarkan alasan yang ditentukan Pasal 29 KUHAP apabila dikemudian hari diketahui ternyata tidak sesuai dengan alasan yang ditentukan pada Pasal 29 KUHAP adalah merupakan penahanan yang tidak sah, hal ini memberikan kewenangan kepada Hakim untuk segera megeluarkan perintah untuk membebaskan Terdakwa dari tahanan. Dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi penerapan Pasal 26 s/d 29 KUHAP harus diselaraskan dengan ketentuan Pasal 29 s/d 32 Undang Undang RI Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sehingga tidak terjadi Terdakwa yang belum diputus perkaranya harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Bahwa perintah pembebasan dari tahanan oleh pengadilan dapat dilakukan terhitung sejak beralihnya tanggung-jawab yuridis penahanan Terdakwa yaitu tepatnya sejak berkas perkara dilimpahkan dan diregister oleh Pengadilan sebelum persidangan, selama pemeriksaan sidang berlangsung sampai dengan pada saat putusan dijatuhkan. Hal ini berbeda dengan perintah penahanan yang harus dikeluarkan di depan persidangan, maka pembebasan penahanan dapat dilakukan di luar persidangan.
Namun demikian, dalam praktek persidangan perkara tindak pidana korupsi seringkali pembebasan dari tahanan terhadap Terdakwa oleh Pengadilan, terganjal karena alasan subyektif yaitu dikhawatirkan Terdakwa melarikan diri saja, meskipun pemeriksaan sudah dinyatakan selesai yang artinya kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
3. Penangguhan Penahanan.
Perintah/Penetapan Penangguhan penahanan yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP berbeda dengan Perintah/Penetapan pembebasan dari tahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 huruf b KUHAP.
Pada penangguhan penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 KUHAP, dapat dikeluarkan karena adanya permintaan dari Tersangka atau Terdakwa atau penasihat hukumnya/keluarganya kepada Pejabat yang berwenang melakukan penahanan saat itu baik dengan atau tanpa jaminan uang atau orang serta berdasarkan syarat syarat yang ditentukan seperti wajib lapor, tidak diijinkan keluar rumah atau keluar kantor dan sewaktu waktu dapat dicabut kembali apabila ada pelanggaran terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan.
Dalam praktik, meskipun penangguhan penahanan ini menjadi kewenangan Hakim sebagaimana diatur dalam undang undang, namun dalam pelaksanaannya khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi harus selektif dengan mempertimbangkan faktor yuridis, faktor filosofis dan faktor sosiologis terutama rasa keadilan masyarakat.
4. Pembantaran (Stuitting).
Pembantaran dalam Bahasa Belanda dikenal dengan Stuitting, sementara istilah Pembantaran Penahanan sendiri tidak ditemukan dalam KUHAP dan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai arti penangguhan penahanan.
Peraturan Pembantaran Penahanan terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 01 Tahun 1989 tentang Pembantaran Tenggang Waktu Penahanan Bagi Terdakwa yang dirawat Menginap di Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara Atas Izin Instansi yang berwenang menahan.
Pembantaran (Stuitting) waktu penahanan Terdakwa yang dirawat inap di rumah Sakit didasarkan pada surat keterangan Dokter rumah tahanan negara (Rutan) yang diberikan kepada Terdakwa yang karena kondisi kesehatannya membutuhkan perawatan yang intensif dan/atau rawat inap di rumah sakit.
Pembantaran dilakukan dengan menggunakan penetapan Majelis Hakim dan terhitung pada saat Terdakwa dirawat inap di rumah sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan rumah sakit dan berakhir setelah Terdakwa berada kembali dalam Rumah Tahanan Negara (Rutan) apabila kesehatannya atas pertimbangan dokter telah membaik, dilakukan pencabutan pembantaran penahanan dan dilakukan penahanan lanjutan dengan diterbitkan surat perintah atau penetapan penahanan lanjutan.
Masa pembantaran tidak dihitung untuk mengurangi pidana yang dijatuhkan oleh Pengadilan, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (4) KUHAP dimana yang dapat dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan adalah hanya masa/waktu penangkapan dan/ penahanan.
5. Pengalihan Jenis Penahanan.
Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim memiliki wewenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 23 ayat (1) KUHAP.
Dalam praktek pengalihan jenis penahanan sering terjadi seperti misalnya pengalihan jenis penahanan dari penahanan Rumah Tahanan Negara (Rutan) menjadi penahanan rumah atau menjadi penahanan kota, maka pengalihan jenis penahanan itu harus tertulis, dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari Penyidik atau Penuntut Umum atau Penetapan Majelis Hakim yang tembusannya diberikan kepada Tersangka atau Terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan sebagaimana dimuat dan diatur dalam Pasal 23 ayat (2) KUHAP.
Dari pengalihan jenis penahanan tersebut akan berakibat pada cara pengurangan masa tahanan dari pidana yang dijatuhkan sebagaimana dimuat dan diatur dalam Pasal 22 ayat (5) KUHAP yaitu :
1. Penahanan Rutan yaitu pengurangannya sama dengan jumlah penahanan;
2.Penahanan Rumah, yaitu pengurangannya sama dengan 1/3 dikalikan jumlah masa penahanan.
3. Penahanan Kota, yaitu jumlah pengurangan masa penahanannya sama dengan 1/5 dikalikan jumlah masa penahanan kota yang telah dijalani.
Dalam praktek, untuk memudahkan penghitungan pengurangan masa penahanan maka sebaiknya untuk penahanan rumah lamanya adalah kelipatan dari 3 (tiga) hari dan untuk penahanan Kota sebaiknya kelipatan dari 5 (lima) hari.
Menurut M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta : Sinar Grafika, 2016; Tata cara pengalihan jenis penahanan sebagai berikut :
1. Penyidik dan Penuntut Umum menerbitkan surat perintah tersendiri yang berisi dan bertujuan untuk mengalihkan jenis penahanan.
2. Jika yang melakukan pengalihan itu Hakim, perintah pengadilan itu dituangkan dalam bentuk surat penetapan.
3. Tembusan surat perintah pengalihan atau penetapan pengadilan jenis penahanan diberikan pada Tersangka atau Terdakwa serta instansi lain yang berkepentingan.
4. Meskipun secara eksplisit tidak ada ketentuan yang membolehkan orang yang ditahan untuk mengajukan permohonan, namun ini bukan larangan bagi mereka untuk mengajukan permohonan pengalihan jenis penahanan.
5. Tersangka/ Terdakwa setiap saat dapat mengajukan permohonan pengalihan jenis penahanan, dengan ketentuan pejabat yang berwenang memperkenannya berdasarkan pertimbangan yang memungkinkan, pejabat yang berwenang dapat menentukan syarat dan jaminan (Jaminan Uang atau Jaminan Orang) yang ditetapkan dan persyaratan tersebut disetujui oleh Tersangka/Terdakwa, setelah disetujui persyaratan tesebut baru dikeluarkan penetapan pengalihan jelis penahanan.
6. Pada penahanan rumah dan penahanan Kota, Tersangka/Terdakwa masih boleh keluar rumah atau kota dengan izin dan pengawasan serta kegiatan wajib lapor dari pejabat yang memberi perintah penahanan.
Baik pada Penangguhan Penahanan maupun pada Pengalihan Jenis Penahanan, guna mengurangi resiko Terdakwa akan melarikan diri maka jaminan uang atau orang yang oleh KUHAP meskipun ditentukan bukan merupakan syarat yang mutlak, akan tetapi akan lebih baik apabila Pengadilan menetapkan jaminan sejumlah uang atau jaminan orang sesuai dengan penilaian Hakim dengan melihat tindak pidana yang dilakukan dan kemampuan Terdakwanya yang oleh Pasal 35 dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP ditentukan bahwa uang jaminan penangguhan penahanan disimpan di Pengadilan Negeri, apabila Terdakwa melahiran diri dan telah lewat 3 (tiga) bulan Terdakwa belum juga ditemukan maka uang jaminan tersebut menjadi milik negara dengan disetor ke Kas Negara, jika jaminannya orang maka orang yang menjamin itulah yang diwajibkan membayar uang yang telah ditetapkan oleh Pengadilan apabila penjaminnya tidak mampu membayar maka juru sita pengadilan dapat menyita barang milik penjamin untuk disita.
Oleh Buku II Mahkamah Agung RI tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan diperjelas lagi sebagai berikut :
Pengalihan penahanan dari Penahanan Rutan ke Penahanan Rumah atau Penahanan Kota dapat diajukan oleh Terdakwa atau Penasihat Hukumnya melalui permohonan tertulis dengan menyebutkan alasan-alasannya yang ditujukan kepada Majelis Hakim.
Majelis Hakim dapat mengabulkan permohonan pengalihan penahanan tersebut setelah mempertimbangkan alasan-alasan yang patut dan logis misalnya : Jaminan kehadiran Terdakwa, sehingga tidak mempersulit jalannya persidangan, serta mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat terutama dalam perkara yang menarik perhatian masyarakat seperti perkara tipikor atau alasan Kesehatan/kemanusiaan.
Apabila permohonan pengalihan penahanan dikabulkan maka hal tersebut dituangkan dalam penetapan dan ditandatangani oleh Majelis Hakim (Catatan : bukan Ketua Majelis) serta diucapkan di persidangan. Penetapan Majelis Hakim sebagaimana disebutkan di atas, tembusannya diberikan kepada Terdakwa/Keluarganya atau Penasihat Hukum serta kepada Instansi yang berkepentingan. Dalam hal permohonan pengalihan penahanan ditolak, maka hal tersebut diucapkan disidang dan dicatat dalam Berita Acara Sidang.
Dalam hal pengalihan penahanan dari tahanan kota atau tahanan rumah ke tahanan rutan, maka Majelis Hakim harus mengacu pada Pasal 21 ayat (4) KUHAP.
Dalam praktek di pengadilan Tipikor sebaiknya dimungkinkan Mejelis Hakim satu dengan yang lain berbeda pendapat tentang dikabulkannya pengalihan penahanan. Apabila terjadi yang demikian maka mekanisme musyawarah hakim dalam menentukan putusan akhir dapat diadopsi dengan memberi ruang kepada Hakim yang berbeda pendapat untuk mengemukakan pendapat dan alasannya serta mencantumkannya dalam penetapan sebagai bagian yang tidak terpisahkan (semacam dissenting opinion dalam putusan akhir).
1. Kesimpulan.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan :
1. Secara Yuridis pengalihan jenis penahanan dalam perkara tindak pidana korupsi sama halnya dengan dalam perkara tindak pidana umum lainnya yaitu tetap mengacu pada norma yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan tidak ditemukan adanya norma lain.
2. Secara empiris tentang pengalihan jenis penahanan dalam praktek pada perkara tindak pidana korupsi harus betul betul mempertimbangkan alasan-alasan subyektif dan alasan-alasan obyektif/formal/yuridis dan rasa keadilan masyarakat mengingat tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang banyak mendapatkan perhatian masyarakat dan pertimbangan pertimbangan tersebut harus dimuat secara jelas pada Penetapan Majelis Hakim.
3. Dalam hal terjadi beda pendapat diantara majelis hakim dalam memutus dikabulkannya/ditolaknya permohonan pengalihan penahanan maka sebaiknya mekanisme musyawarah majelis hakim dapat diterapkan dengan penyesuaian dan pendapat yang berbeda tersebut dapat dituangkan juga dalam Penetapan Majelis Hakim.
2. Saran .
Perlu diberikan petunjuk tentang tata cara perbedaan pendapat dalam mengambil putusan untuk pengalihan jenis penahanan dan penulisannya pada Penetapan Majelis Hakim.
Referensi :
1. M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta. Sinar Grapika, 2016.
2. Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3. Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Undang Undang RI Nonor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
6. Buku II Mahkamah Agung RI tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan.
Berita/Pengumuman Mahkamah Agung
Sistem Informasi Penelusuran Perkara
Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), merupakan aplikasi administrasi dan penyediaan informasi perkara baik untuk pihak internal pengadilan, maupun pihak eksternal pengadilan. Pengunjung dapat melakukan penelusuran data perkara (jadwal sidang sampai dengan putusan) melalui aplikasi ini.
Lebih LanjutPencarian Dokumen Putusan di Direktori Putusan Mahkamah Agung
Pencarian cepat Dokumen Putusan di Database Direktori Putusan Mahkamah Agung Agung Republik Indonesia
Pencarian Peraturan Perundangan, Kebijakan Peradilan dan Yurisprudensi
Pencarian cepat peraturan dan kebijakan dalam Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia
Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas