Info Delegasi
Pengadilan Tinggi
Logo Pengadilan Tinggi Palangkaraya

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pengadilan Tinggi Palangkaraya

Jalan RTA. Milono No.09 Telp. (0536) 3221853, Fax. (0536) 3221854 Palangka Raya Propinsi Kalimantan Tengah

Email: ptpalangka@gmail.com, Instagram: pengadilan_tinggi_palangkaraya, Facebook: pengadilantinggi.palangkaraya.1

banggamelayani berakhlak


Logo Artikel

773 KORUPSI DESA DAN STRATEGI PENCEGAHANNYA

Artikel

ARTIKEL - KORUPSI DESA DAN STRATEGI PENCEGAHANNYA

AGUNG ISWANTO ARTIKEL

KORUPSI DESA DAN STRATEGI PENCEGAHANNYA
(SEBAGAI ANTISIPASI TERHADAP KENAIKAN JUMLAH DANA DESA)

BRIGJEN TNI (PURN) AGUNG ISWANTO, S.H., M.H.
(HAKIM AD HOC TIPIKOR TINGKAT BANDING PENGADILAN TINGGI PALANGKARAYA)

 

A. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang.

Gerakan reformasi tahun 1998 di bidang hukum telah berjalan secara gradual, dimulai dengan dilakukannya perubahan (amandemen) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebanyak 4 (empat) kali perubahan, diantaranya perubahan ke-dua yang terjadi pada tanggal 7 – 18 Agustus 2000 dalam sidang tahunan MPR dimana terdapat 8 (delapan) perubahan penting salah satunya adalah perubahan dalam rangka memperkuat asas otonomi daerah atau desentralisasi yang diatur dalam UUD 1945 Bab VI tentang Pemerintahan Daerah Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (7), Pasal 18 A dan Pasal 18 B;

Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi ditandai dengan berlakunya Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai penyempurnaan dari undang undang sebelumnya yaitu Undang Undang RI Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dengan diserahkan sejumlah kewenangan yang semula menjadi urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, hal ini memberikan ruang dan kesempatan kepada semua daerah otonomi untuk membangun, mengurus dan mengembangkan wilayahnya masing-masing.

Dalam rangka melaksanakan Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18 B ayat (2), Pasal 20 dan Pasal 22 D ayat (2) UUD 1945 serta dalam rangka menyempurnakan (mengubah) Pasal 200 sampai dengan Pasal 216 Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka disusunlah Undang Undang RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Berdasarkan Pasal 72 ayat (1) Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sumber pendapatan desa dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Sumber pendapatan yang sifatnya pasti diterima oleh desa karena merupakan hak desa, sumber ini mencakup pendapatan asli desa, dana desa, bagi hasil dari pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota dan alokasi dana desa

2. Sumber pendapatan yang sifatnya tidak pasti yang terdiri dari bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan tidak mengikat dari pihak ke tiga dan lain-lain pendapatan desa yang sah

Sesuai dengan ketentuan Pasal 75 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa merupakan tokoh sentral Pemegang Kekuasaan Pengeloalaan Keuangan Desa (PKPKD) dan berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Permendagri No. 20 Tahun 2018 Kepala Desa selaku PKPKD mempunyai wewenang : Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDesa; menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang milik desa; melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBDesa; Menetapkan PPKD (Pejabat Pengelola Keuangan Daerah); Menyetujui DPA (Dokumen Pelaksana Angaran), DPPA (Daftar Pelaksanaan Perubahan Anggaran) dan DPAL (Dokumen Pelaksana Anggaran Lanjutan); menyetujui RAK Desa (Rencana Anggaran Kas Desa) serta menyetujui SPP (Surat Permohonan Pencairan) dan dalam melaksanakan kekuasaannnya tersebut Kepala Desa dapat menguasakan sebagian kekuasaannya kepada Perangkat Desa lainnya

Bahwa perubahan sistem pemerintahan dari sentralistasi menjadi desentralisasi serta lahirnya undang undang desa telah memperluas kewenangan Kepala Desa, menjadi tokoh penentu pembangunan desa. Selanjutnya pada tahun 2015 pemerintah mulai menggelontorkan dana desa untuk 74.961 desa di seluruh Indonesia kurang lebih sejumlah Rp 146 Triliun bahkan untuk tahun 2024 Badan Legilatif DPR RI telah menyetujui untuk merevisi undang undang desa dengan menaikkan dana desa sebesar 20 % dan menambah waktu masa jabatan kepala desa dari 6 (enam) tahun untuk 3 (tiga) periode menjadi 9 (sembilan) tahun untuk 2 (dua) periode  sebagai dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XXI/2023.

Untuk tahun 2024, pemerintah melalui Menteri Keuangan akan menyalurkan dana desa sebesar Rp. 71 Triliun dengan target 75.000 desa. Dana desa itu diharapkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan dana desa diarahkan kepada tiga hal, Pertama melanjutkan kebijakan pengalokasian dana desa sesuai Undang Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) melalui pengalokasian berdasarkan formula dan alokasi tambahan tahun berjalan berdasarkan kriteria kinerja tertentu dan pengalokasian pertimbangan kinerja desa dan pengelolaan dana desa. Kedua, memberdayakan masyarakat dan mendukung pembangunan berkelanjutan focus dan prioritas pemanfaatan dana desa dalam rangka dukungan penanganan kemiskinan ekstrem max 25 % melalui BLT desa, dukungan program ketahanan pangan dan hewani minimal 20 %, dukungan program program pencegahan dan penurunan stunting dan dukungan program sektor prioritas di desa melalui bantuan permodalan BUMDes, serta program pengembangan desa sesuai potensi dan karateristik desa. Ketiga, adalah memperbaiki penyaluran dan mendorong tata kelola dana desa

Dengan demikian telah terjadi peningkatan jumlah penerimaan anggaran pembangunan desa yang jumlahnya jauh dari anggaran desa sebelumnya. Hal ini akan  memberikan harapan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat desa, sehingga terwujud desa desa di Indonesia  yang bertransformasi menjadi lokomotif pertumbuhan negara. Namun demikian sebaliknya apabila pengelolaan keuangan desa dilakukan dengan tidak profesional dan tidak akuntabel maka akan berdampak negatif dan berpotensi meningkatkan jumlah tindak pidana korupsi di desa

Sehubungan dengan adanya berbagai perkembangan tentang dana desa dan pengelolaannya kiranya perlu dikaji ulang seputar tindak pidana korupsi di desa sebagai upaya antisipasi adanya kemungkinan meningkatnya jumlah korupsi desa yang akan berdampak pula terhadap peningkatan jumlah kerugian keuangan desa/daerah/negara

 

b.Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, perlu dibahas beberapa permasalahan sebagai berikut

1. Pengertian tindak pidana korupsi desa

2. Problematik pengelolahan keuangan desa dan pengelolaan aset desa

3. Modus operandi, faktor penyebab dan staregi pencegahan korupsi desa;

 

c. Tujuan Penulisan

Mengetahui problematika tindak pidana korupsi desa dan mengkaji ulang faktor penyebabnya serta menentukan strategi pencegahannya  dengan harapan dapat menekan jumlah angka korupsi desa dan dapat meminimalisir kerugian keuangan negara/daerah/desa di masa yang akan datang

 

B. PEMBAHASAN

a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Desa

Korupsi merupakan masalah serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena masalah korupsi yang tidak tertangani dengan baik dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, dan membahayakan pembangunan ekonomi, sosial politik dan menciptakan kemiskinan secara masif sehingga perlu mendapat perhatian dari semua elemen baik dari unsur pemerintah, masyarakat serta lembaga sosial

Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin di berbagai bahasa. Misalnya disalin dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis menjadi coruptie (Korruptie), dalam bahasa Belanda menjadi corruptie. agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata “korupsi” dalam bahasa Indonesia yang secara harfiah istilah tersebut berarti segala macam perbuatan yang tidak baik, sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak-jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau menfitnah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain

Prof. Subekti berpendapat bahwa korupsi merupakan perilaku pejabat yang memperkaya dirinya sendiri yang secara langsung dapat merugikan negara atau perekonomian terhadap negara

Menurut Transparancy International (TI) Korupsi adalah perilaku pejabat publik, politikus atau pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan ilegal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan kekuasaan, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka

Dalam praktik pengertian tindak pidana korupsi adalah merupakan segala tindak kejahatan yang dapat merugikan keuangan maupun perekonomian negara yang secara gamblang telah dijelaskan macamnya oleh rumusan dalam 18 (delapan belas) pasal pada Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Pasal 2,3,5,6,7,8,9.10,11,12,12 B, 13,15,16, Pasal 21,22,23 dan 24. Pada 18 (delapan belas) pasal-pasal tersebut dapat dikelompokkan lagi  dalam 14 (empat belas) macam tindak pidana korupsi

14 (empat belas) macam tindak pidana korupsi yang tersebut dalam Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirinci dalam tiap pasalnya adalah sebagai berikut

1. Tindak pidana korupsi secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi (Pasal 2 ayat 1 UU. PTPK)

2. Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana, jabatan atau kedudukan (Pasal 3 UU. PTPK);

3. Tindak pidana korupsi penyuapan dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu (Pasal 5 UU. PTPK)

4. Tindak pidana korupsi penyuapan pada Hakim dan Advokat (Pasal 6 UU. PTPK)

5. Tindak pidana korupsi dengan perbuatan curang dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dan korupsi dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI dan NKRI (Pasal 7 UU. PTPK);

6. Tindak pidana korupsi pegawai negeri menggelapkan uang dan surat berharga (Pasal 8 UU. PTPK);

7. Tindak pidana korupsi pegawai negeri memalsu buku-buku dan daftar-daftar (Pasal 9 UU. PTPK)

8. Tindak pidana korupsi pegawai negeri merusakkan barang, akta, surat atau daftar (Pasal 10 UU. PTPK)

9. Tindak pidana korupsi pegawai negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kewenangan jabatan (Pasal 11 UU. PTPK)

10. Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara atau hakim atau advokat menerima hadiah atau janji; pegawai negeri memaksa membayar, memotong pembayaran, meminta pekerjaan, menggunakan tanah negara, dan turut serta dalam pemborongan (Pasal 12 UU. PTPK)

11. Tindak pidana korupsi pegawai negeri menerima gratifikasi (Pasal 12 B Jo 12 C UU. PTPK)

12. Tindak pidana korupsi penyuapan pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan jabatan (Pasal 13 UU. PTPK);

13. Tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan hukum acara pemberantasan korupsi (Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24 Jo 31 UU. PTPK)

14. Tindak pidana Korupsi pelanggaran terhadap Pasal 220,231.421,422,429 dan 430 KUHP dalam perkara korupsi (Pasal 23 UU. PTPK)

 

Menurut Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) ada 4 (empat) derajat korupsi di desa, yaitu yang pertama korupsi yang bermula dari kebijakan pemerintah daerah hingga desa, ke dua korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa bersama-sama dengan perangkat desa termasuk keluarganya, ke tiga pungutan liar terhadap warga desa dan ke empat korupsi yang disebabkan pada kesalahan-kesalahan administrasi.

Di tahun 2016 - 2017 Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melakukan pemantauan tentang praktik korupsi penggunaan dana desa terdapat sedikitnya 110 (seratus sepuluh) kasus korupsi anggaran desa yang telah diproses oleh penegak hukum dan diduga melibatkan 139 (seratus tiga puluh sembilan) orang pelaku dengan jumlah kerugian sedikitnya Rp. 30 Miliar dengan pelaku 170 (seratus tujuh puluh) orang diantaranya adalah Kepala Desa 30 (tiga puluh) orang perangkat desa dan 2 (dua) istri Kepala Desa

Istilah korupsi desa muncul dalam praktek karena  undang undang tidak menjelaskan secara khusus tentang definisi apa yang disebut dengan korupsi desa tetapi pada pokoknya sama halnya dengan tindak pidana korupsi pada umumnya, dengan ciri khasnya korupsi desa dilakukan oleh oknum yang berkecimpung secara langsung dalam pengelolaan keuangan dan asset desa seperti kepala desa, sekretaris desa, kepala urusan keuangan dan oknum lainnya yang terkait baik dalam bentuk gratifikasi, penggelapan dana atau asset desa atau tindakan lain yang dapat merugikan keuangan desa/daerah/negara. Dengan kata lain korupsi desa adalah tindak pidana korupsi dimana subyek hukumnya (pelaku) adalah orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai aparatur desa atau orang lain yang bekerjasama dengan pegawai aparatur desa (dhi, jo Pasal 55 atau 56 KUHP) dan substansi obyeknya berhubungan dengan keuangan atau asset desa, atau mengenai kelancaran pelaksanaan tugas-tugas aparatur desa

Dampak langsung korupsi desa adalah menghambat proses pembangunan desa yang telah direncanakan. Hal ini disebabkan karena berkurangnya keinginan investor untuk berinverstasi di desa, pengalokasian sumber daya yang tidak tepat sasaran serta rendahnya kualitas pelayanan dan bangunan fasilitas publik yang ada di desa. Dengan membebaskan desa dari korupsi diharapkan pembangunan di desa bisa berjalan lebih optimal, pertumbuhan ekonomi dapat merangkak naik, dan kualitas masyarakat desa juga meningkat sesuai perencanaan desa.

Dalam praktik pada pengadilan tipikor, tindak pidana korupsi desa yang sering terjadi adalah berhubungan dengan adanya kesalahan pengelolaan keuangan desa dan asset desa sebagai akibat tindakan kecurangan atau sebagai akibat penyalahgunaan kewenangan pejabat pengelola keuangan desa (financial fraud) yang menimbulkan kerugian terhadap  keuangan desa /daerah/ negara baik sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3 UU.PTPK yaitu dalam bentuk

1.Tindak pidana korupsi dengan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi (Pasal 2 ayat 1 UU. PTPK);

Dalam tindak pidana semacam ini subyek hukumnya yaitu aparatur desa (atau orang lain yang terlibat bersama-sama dengan aparatur desa) yang melakukan perbuatan melawan hukum, (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis) yang menjadikan bertambahnya kekayaan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan desa/daerah/negara

Bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum tertulis adalah perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan baik undang undang maupun peraturan lain di bawah undang undang, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota dan seterusnya

Bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum tidak tertulis adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat dan dipandang sebagai perbuatan tercela

Bahwa definisi kerugian keuangan negara/daerah berdasarkan Pasal 1 angka 22 Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 Undang Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dijelaskan : “kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai”.

Dalam praktiknya pada Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum hampir pasti ditetapkan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah dilanggar oleh Terdakwa dalam melakukan wujud perbuatan memperkaya. Pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan itulah yang merupakan sifat melawan hukumnya perbuatan secara formal

2.Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana, jabatan atau kedudukan (Pasal 3 UU. PTPK);

Dalam tindak pidana ini subyek hukumnya harus mempunyai suatu jabatan dan/atau suatu kedudukan tertentu dalam hal ini adalah  aparatur desa yang melakukan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada dirinya selaku aparatur desa karena jabatannya atau kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi dan dapat merugikan keuangan desa/daerah/negara

Bahwa yang membedakan “unsur setiap orang” dalam pasal 2 ayat (1) dengan pasal 3 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi biasanya terletak pada adanya predikat unsur jabatan dan kedudukan yang tidak terdapat dalam pasal 2 ayat (1). Unsur “setiap orang” dalam Pasal 3 adalah pelaku tipikor hanya orang perorangan yang memangku suatu jabatan atau kedudukan. Setiap orang yang secara formal mempunyai jabatan adalah juga mempunyai kedudukan.[1]Tetapi berdasarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar MA sebagai Pedoman pelaksanaan Tugas bagi pengadilan, pada bagian  C: Tindak Pidana Khusus, menyebutkan bahwa pasal 2 dan pasal 3 diperuntukkan untuk setiap orang baik swasta maupun pegawai negeri. Jadi baik pasal 2 maupun 3 berlaku bagi pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri, sehingga berdasarkan bunyi rumusan pasalnya bahwa untuk Pasal 2 ayat (1) harus dibuktikan adanya perbuatan secara melawan hukum sedangkan untuk Pasal 3 harus dibuktikan adanya perbuatan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

Bahwa jenis tindak pidana korupsi desa lainnya seperti pungutan liar, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, benturan kepentingan dan gratifikasi jarang menjadi pada perkara korupsi desa yang disidangkan di Pengadilan Tipikor

 

b. Problematika Pengelolaan Keuangan Desa dan Pengelolaan Aset Desa

Menurut Pasal 71 ayat (1) UU Desa Jo Pasal 9 ayat (1) Permendagri No. 20 Tahun 2018 menjelaskan bahwa Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa

1.Problematika Pengelolaan Keuangan Desa

Dalam buku “Korupsi Desa” karangan Pandu Pramoe Kartika, S.H. dkk. telah diinventarisir permasalahan pengelolaan keuangan desa dan diuraikan dalam 5 (lima) tahapan yaitu Tahap Perencanaan, Tahap Pelaksanaan, Tahap Penatausahaan, Tahap Pelaporan dan Tahap Pertanggungjawaban

Pengelolaan keuangan desa merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi yaitu

a)Tahap Perencanaan

Pada tahap perencanaan pengelolaan keuangan desa terdapat dua kegiatan utama yaitu kegiatan perencanaan penerimaan keuangan dan perencanaan pengeluaran keuangan pemerintah desa yang dituangkan dalam APBDesa. Penyusunan Rancangan APBDesa dikoordinir oleh Sekretaris Desa dengan berpedoman pada peraturan Bupati/Walikota setempat pada setiap tahun angaran, selanjutnya RAPBDesa diserahkan kepada Kepala Desa untuk disampaikan kepada BPD (Badan Permusyawaratan Desa) untuk dibahas dan disepakati bersama dan apabila telah disepakati maka Kepala Desa dengan dikoordinir oleh Sekretaris Desa menyiapkan rancangan peraturan Kepala Desa mengenai penjabaran RAPBDesa, selanjutnya Rancangan Peraturan Desa tentang RAPBDesa disampaikan kepada Bupati/Walikota yang membawahi desa setempat untuk dievaluasi, setelah dievaluasi dan disetujui selanjutnya ditetapkan oleh Kepala Desa menjadi Peraturan Desa (Perdes) tentang APBDesa, lalu Kepala Desa menetapkan rancangan peraturan kepala desa tentang penjabaran APBDesa sebagai peraturan pelaksana dari peraturan desa tentang APBDesa. Kepala Desa berkewajiban menyampaikan APBDesa kepada masyarakat melalui media informasi yang tersedia sebagai penjabaran asas keterbukaan informasi publik

Beberapa permasalahan yang harus diwaspadai sering ditemukan pada tahap perencanaan pengelolaan keuangan desa :

(1) Penyusunan Rancangan APBDesa yang tidak berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa tahun berkenaan dan tidak berpedoman pada Pedoman Penyusunan APBDesa yang diatur dengan peraturan Bupati/Walikota setempat setiap tahunnya

(2) Penyusunan Rancangan APBDesa tidak dilakukan melalui forum musyawarah desa yang dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat sehingga pelaksanaan musyawarah desa hanya formalitas saja

(3) Penyusunan Rancangan APBDesa tidak memasukkan SILPA (selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran) tahun lalu

(4) APBDesa yang telah dibuat tidak dipublis melalui media informasi kepada masyarakat

 

b)Pada Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan pengelolaan keuangan desa, Kepala Desa dengan dibantu Kaur dan Kasi  Pelaksana Kegiatan Anggaran  sesuai tugasnya menyusun dokumen penjabaran dan penganggaran yaitu berupa DPA (Dokumen Pelaksana Anggaran) dan selanjutnya menyusun RAK Desa (Rencana Anggaran Kas)

DPA (Dokumen Pelaksana Anggaran) merupakan dokumen yang memuat pendapatan dan belanja setiap OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh pengguna anggaran. RAK Desa (Rencana Anggaran Kas) adalah dokumen yang memuat arus kas masuk dan arus kas keluar yang dipergunakan mengatur  penarikan dana dari rekening kas untuk mendanai pengeluaran-pengeluaran berdasarkan DPA yang telah disahkan oleh Kepala Desa 

Kaur dan Kasi Pelaksana Kegiatan mengajukan Surat Perintah Pembayaran (SPP) dalam setiap pelaksanaan kegiatan dengan dilampiri pernyataan tanggung-jawab belanja dan bukti penerimaan barang/jasa yang telah diverifikasi oleh Sekretaris Desa

Beberapa permasalahan yang harus diwaspadai sering  ditemukan pada tahap pelaksanaan pengelolaan keuangan desa:

(1). Pengelolaan penerimaan dan pengeluaran dilakukan secara fiktif

(2). Setelah anggaran dicairkan Kepala Desa mengelola sendiri anggaran desa tersebut

(3). Kaur Keuangan menyimpan uang tunai melampaui jumlah yang ditentukan

(4). Anggaran desa yang telah cair dimasukkan ke dalam rekening pribadi dengan tujuan mendapatkan bunga dari dana tersebut

(5). Penyusunan DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) tidak sesuai dengan regulasi yang ada

(6). Penyusunan DPA dilaksanakan oleh pendampingan desa/pihak lainnya dengan komitmen fee tertentu atau kepentingan tertentu

(7). Penyusunan RAB (Rencana Anggaran Biaya) disusun tidak real (mark up)

(8). Penyusunan RAB dengan pendampingan desa/pihak lain dengan komitmen fee tertentu atau kepentingan tertentu

(9). Bukti penunjang RAK (Rencana Aksi Kegiatan) dibuat secara fiktif

(10). Kaur dan Kasi pelaksana kegiatan tidak pernah membuat buku bantu kegiatan untuk mencatat semua pengeluaran anggaran kegiatan

(11). Kegiatan tidak diutamakan untuk dilakukan secara swakelola, tetapi Kepala Desa mempergunakan kerabatnya atau pihak lain (kontraktor) untuk mengerjakan suatu kegiatan dengan timbal balik fee

 c) Tahap Penatausahaan Keuangan Desa

Pada tahap penatausahaan pengelolaan keuangan desa dilakukan oleh Kaur Keuangan sebagai bendahara dengan mencatat setiap penerimaan dan pengeluaran dalam buku kas umum. Semua pengeluaran atas beban APBDesa dibuktikan dengan kuitansi

Beberapa permasalahan yang perlu diwaspadai dan sering ditemukan pada tahap penatausahaan pengelolaan keuangan desa :

(1). Kaur Keuangan tidak mencatat dengan baik setiap penerimaan dan pengeluaran dalam buku kas umum.

(2). Kaur Keuangan tidak membuat buku-buku bantu seperti buku bantu kas umum, buku bantu bank, buku bantu pajak, buku bantu panjar.

(3). Pencairan dana kegiatan swakelola dilakukan tidak secara berjenjang, dalam praktik Kepala desa sering membawa uang hasil pencairan.

(4). Kepala Desa langsung membayarkan uang tunai kepada pihak penyedia.

(5). Pengeluaran APBDes menggunakan kuitansi pengeluaran dan kuitansi penerimaan yang bersifat fiktif.

(6). Dalam proses pengajuan SPP, Sekretaris Desa tidak melakukan verifikasi, evaluasi dan analisa atas laporan secara sungguh-sungguh

 d) Tahap Pelaporan

Dalam tahap pelaporan pengelolaan keuangan desa, Kepala Desa wajib menyampaikan pelaporan pelaksanaan APBDesa dan realisasi kegiatan setiap semester kepada Bupati/Walikota melalui Camat

Beberapa permasalahan yang ditemukan pada tahap pelaporan dalam pengelolaan keuangan desa:

(1). Laporan pelaksanaan APBDesa dibuat fiktif untuk memperlancar pencairan dana pada semester berikutnya agar tidak dilakukan pemotongan.

(2).  Dari Bupati/Walikota atau Camat tidak meneliti laporan yang dibuat oleh kepala Desa dengan sungguh-sungguh

 e) Tahap Pertanggung-jawaban

Kepala Desa menyampaikan laporan pertanggung-jawaban realisasi APBDesa kepada Bupati/walikota melalui camat setiap akhir tahun anggaran. Laporan  pertanggung-jawaban juga harus dinformasikan kepada masyarakat melalui media informasi. Informasi tersebut memuat : Laporan realisasi APBDesa; Laporan realisasi kegiatan; kegiatan yang belum selesai dan/atau tidak terlaksana; Sisa anggaran dan alamat pengaduan

Permasalahan yang ditemukan pada tahap pertanggung-jawaban dalam pengelolaan keuangan desa :

Bahwa laporan pertanggung-jawaban APBDesa dibuat fiktif untuk memudahkan pencairan dana desa dan APBDesa tahun berikutnya tidak dilakukan pengurangan

 

2.Problematika Pengelolaan Asset Desa

Pasal 1 angka 11 Undang Undang Tentang Desa Jo. Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 01 Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Aset Desa menjelaskan Aset Desa merupakan barang milik desa yang berasal dari kekayaan asli desa, dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja desa atau diperoleh hak lainnya yang sah. Contoh Aset Desa dapat berupa : Tanah Kas Desa; Tanah Ulayat; Pasar Desa; Pasar Hewan; Tambatan Perahu; Bangunan Desa; Pelelangan Ikan; Pelelangan Hasil Pertanian; Hutan Milik Desa; Mata Air Milik Desa; Pemandian Umum dan aset lainnya milik desa

Dalam buku “Korupsi Desa’’ karangan Pandu Pramoe Kartika, S.H. dkk. diuraikan tentang pengelolaan aset desa meliputi

1). Perencanaan;

Perencanaan aset desa dituangkan dalam RPJMDesa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) untuk kebutuhan 6 (enam) tahun, sedangkan untuk kebutuhan 1 (satu) tahun dituangkan dalam RKPDesa (Rencana Kerja Pemerintah Desa) dan ditetapkan dalam APBDesa.

Permasalahan yang mungkin timbul dalam pengelolaan asset desa pada tahap perencanaan adalah :

(a). Pemerintahan desa tidak membuat RPJMDesa;

(b). Pemerintah desa tidak membuat RKPDesa;

(c). Pemerintah desa membuat RPJMDesa yang tidak disesuaikan dengan RPJMDaerah.

(d).  Pemerintah desa membuat RKPDesa yang tidak disesuaikan dengan RPJMDaerah.

(e).Pemerintah Desa membuat RPJM Desa tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan pemerintah desa.

2). Pengadaan;

Pengadaan aset desa dilaksanakan berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel

Permasalahan yang mungkin timbul dalam pengelolaan aset pada tahap pengadaan adalah :

(a). Pengadaan aset dilakukan sebatas untuk kepentingan penyerapan anggaran saja.

(b). Pengadaan asset diakukan tidak memperhatikan aspirasi masyarakat desa.

(c). Pengadaan aset dilakukan dengan maksud terselubung untuk memperoleh keuntungan pribadi.

3). Penggunaan;

Penggunaan aset desa, ditetapkan dengan keputusan Kepala Desa setiap tahunnya dalam rangka mendukung penyelenggaraan pemerintah desa.[1]

Permasalahan yang mungkin timbul dalam pengelolaan aset pada tahap pengunaan adalah :

(a). Penggunaan aset untuk kepentingan pribadi perangkat desa.

(b). Penggunaan aset yang tidak ditetapkan dalam keputusan Kepala Desa.

(c). Penggunaan aset di luar kepentingan pemerintahan desa.

 4). Pemanfaatan

Pemanfaatan aset desa dapat dilaksanakan sepanjang tidak dipergunakan langsung untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan desa dalam bentuk sewa; pinjam pakai atau kerjasama pemanfaatan lainnya

Pemanfaatan aset desa ditetapkan dalam peraturan desa. Hasil pemanfaatan aset desa merupakan pendapatan desa dan wajib masuk ke rekening kas desa

Permasalahan yang harus diwaspadai karena mungkin timbul dalam pengelolaan aset pada tahap pemanfaatan adalah :

(a). Perangkat Desa merubah status kepemilikan aset desa.

(b). Pemanfaatan aset untuk kepentingan pribadi dari aparat desa.

(c). Pemanfaatan aset oleh pihak ke tiga tidak sesuai dengan perjanjian.

(d). Perangkat Desa menggelapkan pembagian bagi hasil keuntungan.

(e). Perangkat Desa tidak melakukan pembukuan dengan baik.

5). Pengamanan;

Pengamanan aset wajib dilakukan oleh Kepala Desa dan perangkat desa, yang meliputi pengamanan administrasi dokumen kepemilikan serta surat-surat lainnya dan pengamanan fisik untuk mencegah terjadinya penurunan fungsi barang, penurunan jumlah barang dan hilangnya barang

6). Pemeliharaan;

Pemeliharaan aset wajib dilakukan oleh Kepala Desa dan biayanya dibebankan kepada APBDesa

Permasalahan yang harus diwaspadai yang mungkin timbul dalam pengelolaan aset pada tahap pemeliharaan adalah :

(a). Aset desa tidak dilakukan pemeliharaan dengan baik sehingga cepat rusak dengan tujuan agar dilakukan pengadaan kembali.

(b). Biaya pemeliharaan dicairkan tetapi tidak dipergunakan untuk perbaikan.

7). Penghapusan

Penghapusan aset desa merupakan kegiatan menghapus/ meniadakan aset desa dari buku inventaris desa dikarenakan beralihnya kepemilikan, pemusnahan atau sebab lainnya seperti karena terbakar, terkena bencana alam, hilang atau sebab lainnya

Permasalahan yang harus diwaspadai yang mungkin timbul dalam pengelolaan aset pada tahap penghapusan adalah :

(a). Pemusnahan aset tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan.

(b). Penjualan/pembaharuan asset dilakukan untuk kepentingan pribadi.

(c). Penghapusan asset desa yang strategis tanpa persetujuan Bupati/Walikota.

8). Pemindah-tanganan;

Bentuk pemindah-tanganan aset desa meliputi tukar menukar, menjual aset atau penyertaan modal

Permasalahan yang mungkin timbul dalam pengelolaan aset desa pada tahap pemindah-tanganan adalah :

(a). Tukar menukar aset atau penjualan asset tidak dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku.

(b). Penjualan aset dengan harga rendah.

(c). Penjualan aset desa yang sebenarnya masih memiliki nilai manfaat/nilai ekonomi yang tinggi.

9). Penata-usahaan;

Aset desa yang sudah ditetapkan penggunaannya harus diinventarisir dalam buku inventaris asset desa dan diberi kodefikasi. 

Permasalahan yang mungkin timbul dalam pengelolaan aset desa pada tahap penatausahaan adalah :

(a). Aset  desa tidak diberikan kodefikasi sehingga mengaburkan kedudukan asset desa.

(b). Aset desa berupa tanah disertifikatkan tidak atas nama pemerintah desa tetapi atas nama orang perorangan.

10). Pelaporan;

Permasalahan yang mungkin timbul dalam pengelolaan aset desa pada tahap pelaporan adalah dengan membuat pelaporan asset desa yang fiktif, tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

11). Penilaian;

Permasalahan yang mungkin timbul dalam pengelolaan aset desa pada tahap penilaian asset desa adalah Ketika pemerintah desa tidak melakukan penilaian asset desa dengan benar sehingga ketika dilakukan penukaran asset desa menguntungkan pihak lain

12). Pembinaan;

Permasalahan pada tahap pembinaan adalah Kepala desa tidak melakukan pembinaan terhadap pengelolaan aset desa

13). Pengawasan;

Permasalahan yang mungkin timbul dalam pengelolaan aset desa pada tahap pengawasan adalah :

(a). Kepala Desa tidak melakukan pengawasan terhadap aset desa dengan baik sehingga dimungkinkan aset desa menjadi rusak atau hilang.

(b). Kepala Desa tidak transparan dalam melakukan pengawasan aset desa sehingga masyarakat tidak dapat ikut serta dalam pengawasan aset desa.

14). Pengendalian.

Permasalahan pengelolaan aset desa pada tahap pengendalian adalah ketika Kepala Desa tidak melakukan pengendalian terhadap aset desa dengan baik

 

3. Problematika Pengadaan Barang dan Jasa

Salah satu bentuk pengelolaan dana desa adalah belanja desa, dimana salah satunya adalah pengadaan barang/jasa di desa yang diharapkan dapat memperlancar penyelenggaraan pemerintahan desa dan memenuhi kebutuhan masyarakat desa.

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa telah memberikan definisi tentang pengadaan barang/jasa desa sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh barang /jasa oleh pemerintah desa, baik dilakukan secara swakelola maupun melalui penyedia barang/jasa yang aturan selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh Peraturan Bupati/Walikota tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa.

Pedoman Penyusunan Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di desa terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan pengadaan; persiapan pengadaan; pelaksanaan pengadaan serta laporan dan serah terima.

Pengadaan barang/jasa secara swakelola pada pemerintah desa dilakukan oleh Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa dan Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2019 dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

Pengadaan barang/jasa di desa pada prinsipnya dilaksanakan secara swakelola, namun untuk yang tidak dapat dilaksanakan secara swakelola baik sebagian atau seluruhnya, dapat dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa yang dianggap mampu dimana nilai barang/jasanya ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan kondisi sosial budaya masing masing daerah sepanjang dalam batas kewajaran.

Dalam hal menentukan pihak penyedia barang/jasa dilakukan secara lelang perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu Pengumuman lelang; pendaftaran dan pengambilan dokumen lelang; pemasukan dokumen penawaran; evaluasi penawaran; negosiasi dan penetapan pemenang.

Terhadap pelaksanaan pengadaan barang/jasa di desa baik secara swakelola maupun melalui penyedia barang/jasa pengawasannya dilakukan oleh Bupati/Walikota yang dapat didelegasikan kepada Kepala Kecamatan (Camat) selain dilakukan oleh masyarakat desa setempat.

Untuk mempermudah pelaksanaan pengadaan barang/jasa di desa, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) telah mengeluarkan Buku Pedoman Pengadaan Barang/jasa di Desa.

Beberapa permasalahan pengadaan barang dan jasa di desa yang sering terjadi :

1). Pemerintah desa tidak merencanakan dengan baik membuat jadwal pelaksanaan pekerjaan, perkiraan biaya/RAB (Rencana Anggaran Biaya) yang tidak berdasarkan data harga pasar yang wajar, gambar rencana kerja (untuk pekerjaan konstruksi), spesifikasi tehnis dan kelengkapan administrasi lainnya yang diperlukan.

2). Pelaksanaan pengadaan barang / jasa  melalui rekanan dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

3).  Pemerintah desa tidak pernah meminta tenaga ahli dari dinas terkait tetapi meminta dari luar dengan timbal balik fee dari nilai proyek.

4). Pengadaan barang/jasa dilakukan sendiri oleh Kepala Desa atau dengan menunjuk rekanan yang masih kerabatnya sendiri.

5). Kecamatan yang mendapat delegasi dari Bupati/Walikota tidak melakukan pengawasan dengan baik.

6). Tim Pelaksana Kegiatan tidak membuat laporan progres pelaksanaan.

7). Laporang akhir kegiatan dibuat hanya formalitas saja.

8). Setelah pekerjaan terlaksana (100 %) tidak pernah dibuat berita acara serah terima hasil pekerjaan.

9). Laporan pertanggung-jawaban hasil pekerjaan tidak dilengkapi bukti dukung yang lengkap dan sah.

 

c. Modus Operandi Korupsi Desa

Modus operandi adalah cara operasi orang perorangan atau kelompok penjahat dalam menjalankan rencana kejahatannya.

Beberapa titik rawan terjadinya tindak pidana korupsi dalam pengelolaan anggaran desa dimulai pada saat proses perencanaan, berlanjut pada proses pelaksanaan seperti pada saat pengadaan barang dan jasa atau pada saat proses penyaluran dan pengelolaan dana desa, kemudian dapat pula terjadi pada saat proses monitoring dan evaluasi dan sebagai penutup pada saat pertanggung-jawaban (pelaporan).

Modus operandi korupsi yang berhasil dipantau oleh ICW terjadi dalam pelaksanaan pengelolaan anggaran dan Pembangunan desa yaitu :

1). Menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) di atas harga pasar.

2). Mempertanggung-jawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain.

3). Meminjam dana desa untuk keperluan pribadi dan tidak dikembalikan.

4). Pungutan atau potongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten.

5). Membuat perjalanan dinas fiktif.

6). Mark up pembayaran honorarium perangkat desa.

7). Mark up pembangunan pembayaran alat tulis kantor.

8). Pungutan pajak atau retribusi desa yang tidak disetorkan.’

9). Pengadaan inventaris kantor dengan dana desa tetapi diperuntukkan secara pribadi.

10). Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat desa.

11). Melakukan permainan (kongkalikong) dalam proyek yang didanai dana desa.

12). Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa.

 

d. Faktor Penyebab Korupsi Desa.

Marwan Effendy dalam bukunya ‘’Korupsi dan strategi nasional’’, pemberantasan dan pencegahannya,  menurut pandangan Bologna Et Al dalam Teori GONE ada 4 (empat) faktor penyebab terjadinya kejahatan yaitu :

1). Keserakahan (greed) yang ada pada stiap manusia.

2). Kesempatan (opportunities) untuk melakukan kejahatan.

3). Kebutuhan (needs), untuk menunjang hidupnya.

4). Dipamerkan/pengungkapan (exposure), konsekuensi apabila perlaku ditemukan melakukan kecurangan.

Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengindentifikasi beberapa aspek penyebab terjadinya korupsi yaitu :

1). Aspek individu pelaku korupsi. Seperti : sifat tamak, moral rendah, karena kebutuhan mendesak,  gaya hidup, malas, kurang menerapkan ajaran agama.

2). Aspek organisasi, yang membuka peluang untuk terjadinya korupsi dikarenakan seperti kurang keteladanan, kelemahan sistem manajemen dan kultur organisasi yang salah.

3). Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi barada. Rendahnya kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam pemberantasan korupsi.

4). Aspek peraturan perundang-undangan yang lemah, ambiguistik dan monopolistic yang hanya menguntungkan pihak tertentu,

Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan 4 (empat) kelemahan pencetus korupsi dana desa yaitu Regulasi; Pelaksanaan; Pengawasan dan Kapasitas Perangkat Desa.

ICW menunjukkan terdapat lima titik rawan korupsi dalam proses penyaluran dan pengelolaan dana desa yaitu pada : 1). Proses perencanaan; 2). Proses Pertanggungjawaban; 3). Proses monitoring dan evaluasi; 4). Proses pelaksanaan dan 5). Proses pengadaan barang dan jasa.

Faktor penyebab korupsi di desa selain dari Sumber Daya Manusianya (SDM), korupsi desa juga sudah dimulai dari hulu yaitu pada saat masih dalam tahap  perencanaan, berlanjut pada saat pelaksanaan, kemudian merambat pada tahap pengawasan dan sampai pada hilir yaitu pelaporan pertanggung-jawaban. Faktor-faktor tersebut bentuknya sebagai berikut :

1). Kepala desa dan perangkat desa serta pendamping desa kurang memiliki integritas moral dan terbatas kompetensi manajerial yaitu  teknis pengelolaan dana desa dan aset desa, pengadaan barang dan jasa, monitoring dan evaluasi serta penyusunan laporan kegiatan dan pertanggung-jawaban keuangan desa.

2). Kurang dilibatkannya masyarakat dan tenaga ahli (pendamping desa) dalam proses perencanaan pengelolaan dana desa dan asset desa.

3). Tidak optimalnya pelaksanaan pembagian tugas dan tanggung jawab Para Perangkat Desa dan lembaga-lembaga desa.

4). Minimnya fungsi pengawasan di desa baik pengawas internal seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), pengawasan dari instansi yang lebih atas (dari Kecamatan atau Kabupaten/Kota) maupun pengawasan eksternal dari Lembaga/Kementrian yang terkait dan bertugas untuk itu.

5).Terbatasnya akses publik terhadap informasi tentang pengelolaan anggaran desa dan aset desa membuat publik tidak terdorong untuk berpartisipasi aktif memberikan masukan dan melakukan pengawasan

6).Rendahnya kemampuan membuat laporan kegiatan dan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran desa.

 

e. Strategi Pencegahan Korupsi Desa

Melihat begitu masifnya penyimpangan anggaran desa yang berpotensi sebagai korupsi maka pemberantasan korupsi melalui tindakan hukum berdasarkan instrument pidana yang merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy) harus dilakukan secara integral dan komprehensif, yaitu harus dipadukan dengan upaya non penal, terutama instrument pencegahan yaitu dengan menyeimbangkan tindakan represif dengan tindakan yang bersifat preventif, mengingat keberhasilan penanggulangan tindak pidana korupsi tidak terletak pada banyaknya perkara yang diajukan ke pengadilan tetapi terletak pada keberhasilan menggugah kesadaran untuk tidak melakukan korupsi

Dalam rangka menindak lanjuti perintah Presiden RI yang menyatakan “membangun Indonesia dari pinggiran” yaitu Desa sebagai garda terdepan dalam pelayanan masyarakat oleh Jaksa Agung RI telah dikeluarkan Instruksi Jaksa Agung RI (INSJA) Nomor 5 Tahun 2023 yakni optimalisasi peran Intelejen melalui program Kolaborasi Jaga Desa (Jaksa Garda Desa) dengan menginstruksikan jajarannya guna melakukan pendampingan dan pengawalan program Dana Desa agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara berkelanjutan, perlu dilakukan bimbingan, pembekalan sehingga pembangunan desa tepat waktu, tepat mutu dan tepat sasaran

Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tetinggal (PDTT) dan Transmigrasi juga telah membentuk Satuan Tugas Dana Desa dengan tugas membantu kepala desa dalam mengelola dana desa sesuai ketentuan. Selain itu kementerian PDTT juga membuat call center (pusat pengaduan) untuk menerima laporan dari Masyarakat soal kemungkinan penyalahgunaan dana desa

Komisi Pemberantas Korupsi melalui Direktorat Pembinaan Peran serta Masyarakat juga telah menginisiasi program Desa Anti Korupsi dengan menyusun Buku Panduan Desa Antikorupsi dengan tujuan menyebarluaskan pentingnya membangun integritas dan nilai nilai anti korupsi  kepada pemerintah dan masyarakat desa, memperbaiki tata kelola pemerintahan desa serta memberikan pemahaman dan peningkatan peran serta masyarakat desa dalam upaya mencegah korupsi dan memberantas korupsi dengan melibatkan berbagai unsur dari berbagai unsur kementerian terkait. LSM, pemerhati desa. Akademisi, kepala desa, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemuda dan kaum perempuan serta asosiasi pemerintahan desa melalui serangkaian diskusi kelompok terfocus

Selain melaksanakan progarm program lintas Kementrian / Lembaga (K/L) yang bertujuan mencegah terjadinya korupsi tersebut di atas pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Desa dapat dilakukan dengan strategi  upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan (kuratif) dan upaya edukasi serta upaya internal dari desa sendiri yang direncanakan dan dilaksanakan dalam rangka menghantarkan desa mencapai sasarannya yaitu desa yang terbebas dari korupsi

1. Upaya Pencegahan (Preventif).

Upaya pencegahan korupsi desa  (preventif) adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk meminimalisasi penyebab dan peluang aparat desa dan lingkungannya melakukan tindak pidana korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2020-2024 membuat strategi pemberantasan korupsi dengan menempatkan aspek pencegahan sebagai sasaran pertama penanganan korupsi di Indonesia

Upaya percegahan preventif korupsi desa dapat dilakukan dengan :

a). Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa, dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama pada lingkungan masyarakat desa.

b). Melakukan penerimaan pegawai pemeritahan daerah berdasarkan kompetensi dan integritas.

c). Para pejabat daerah dihimbau untuk berperilaku hidup sederhana dan memiliki tanggungjawab moral yang tinggi.

d). Para pegawai di daerah selalu diusahakan kesejahteraannya yang memadai dan diberikan jaminan masa tua.

e). Menciptakan aparatur pemerintahan daerah yang jujur dan disiplin serta berkinerja tinggi.

f). Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat daerah/desa yang memiliki tanggung jawab tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.

g). Melakukan pelaporan terhadap kekayaan pejabat daerah .

h). Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pejabat pejabat daerah berdasarkan kompetensi dan integritas yang dimiliki.

i). Melakukan penguatan institusi pengawasan di tingkat Kabupaten/Kota, penguatan lembaga DPRD, Penguatan jajaran aparat penegak hukum di daerah, sektor partai politik, organisasi profesi dan asosiasi bisnis yang ada di daerah.

 

2. Upaya Penindakan (represif)

Strategi represif pemberantasan korupsi desa adalah upaya menempuh jalur hukum untuk mengadili para pelaku korupsi desa dengan tujuan supaya aparat desa dan orang lain yang telibat dalam pengelolaan dana desa tidak melakukan korupsi dan yang pernah melakukan korupsi tidak lagi mengulangi perbuatannya. Penindakan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum di daerah terhadap pelaku tindak pidana korupsi desa dimaksudkan agar memberikan efek jera kepada pelakunya dan secara tidak langsung memberikan shock therapy pada orang orang yang berniat melakukan tindak pidana korupsi desa. Dalam penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana korupsi desa harus diperhatikan asas kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Mengingat bahwa salah satu unsur tindak pidana korupsi di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU. PTPK adalah adanya unsur kerugian keuangan negara, unsur tersebut memberi konsekuensi bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya bertujuan untuk membuat jera para koruptor melalui penjatuhan pidana yang berat, melainkan juga dalam penjatuhan pembayaran uang pengganti yang sepadan dengan kerugian negara yang ditimbulkan guna memulihkan keuangan negara akibat korupsi sebagaimana ditegaskan dalam konsideran dan penjelasan umum UU. PTPK. Kegagalan pengembalian aset hasil korupsi dapat mengurangi maksud penghukuman terhadap para koruptor

 

3. Upaya Edukasi

Pemberantasan korupsi melalui upaya edukasi/pendidikan dan kampanye sebagai strategi pembelajaran anti-korupsi dengan tujuan membangun kesadaran publik akan dampak korupsi, memobilisasi masyarakat untuk aktif dalam gerakan memerangi korupsi, serta membangun perilaku dan budaya anti-korupsi dalam rangka mengembangkan kemampuan generasi mendatang untuk menanamkan pola pikir jujur, disiplin dan tanggung jawab. Melalui proses edukasi baik melalui pendidikan formal dan informal masyarakat diberikan pendidikan anti korupsi sejak dini agar masyarakat sadar betul akan bahaya korupsi bagi negara dan bangsa. Upaya edukasi ini dilakukan juga dalam rangka membangun karakter bangsa kepada seluruh warga negara khususnya warga masyarakat pedesaan dengan maksud agar masyarakat di pedesaan :

a). Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi aktif dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik masyarakat desa.

b). Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh terhadap kebijakan pemerintah desa.

c). Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan desa.

d). Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan pemerintahan desa dan aspek-aspek hukumnya.

e). Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan di desa dan berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat di desanya.

 

4. Upaya Internal di Tingkat Pemerintahan Desa

Bahwa kedepan perolehan besaran dana desa kepada tiap desa juga sangat ditentukan oleh upaya desa melakukan perbaikan penataan tatalaksana desa, untuk itu selain melalui upaya preventif, represif dan edukasi, perlu juga dilakukan upaya internal di tingkat pemerintahan desa dengan membentuk desa anti-korupsi yang dapat dilakukan dengan melaksanakan tahapan pemberdayaan desa anti-korupsi sebagai berikut:

a). Memastikan penataan talaksanaan desa berjalan lebih bersih, dengan membuat peraturan desa/Keputusan Kepala Desa / SOP tentang berbagai kegiatan di desa mulai dari pembuatan pakta integritas, kegiatan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi sampai dengan pertanggung-jawaban pelaksanaan APBDesa dengan memedomani buku panduan desa anti korupsi

b). Melakukan penguatan pengawasan internal desa, dengan melakukan monitoring dan evaluasi kinerja aparat desa dan metindak-lanjuti hasil dari monev tersebut

c). Memastikan bahwa penguatan pelayanan publik dengan membuka akses informasi  seluas-luasnya kepada masyarakat, memastikan telah diterapkan standar pelayanan publik dan maklumat pelayanan, serta sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) dan telah berjalan dengan baik

d). Melakukan penguatan partisipasi masyarakat perorangan maupun lembaga-lembaga bentukan yang ada di desa dalam rangka pembangunan desa

e). Memberdayakan kearifan lokal untuk diperkenalkan dalam rangka upaya mendukung budaya anti korupsi dengan melibatkan tokoh masyarakat desa, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda dan kaum perempuan

 

C. PENUTUP

a. Kesimpulan

1). Dalam rangka upaya pencegahan tindak pidana korupsi desa perlu dilakukan pendekatan pengetahuan secara menyeluruh yaitu dengan memperkenalkan kepada masyarakat desa termasuk aparat desa tentang problematik pengelolaan keuangan desa dan pengelolaan asset desa, mengenali modus operandi dan faktor penyebab terjadinya korupsi desa serta bagaimana strategi upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya korupsi desa

2). Dengan memahami definisi dari korupsi desa, memahami problematik pengelolaan keuangan desa dan pengelolaan asset desa serta memahami seluk beluk terjadinya korupsi desa dan upaya pencegahannnya, diharapkan pengetahuannya tersebut akan menjadi panduan kepada aparat desa dan masyarakat desa untuk dapat menghindari terjadinya korupsi desa

3). Tindak pidana korupsi desa akan terus berkembang menyesuaikan perkembangan desa itu sendiri, untuk itu diperlukan komitmen dan upaya kongkrit dari seluruh kepala desa dan aparat desa lainnya sebagai aktor utama penggerak desa serta peran serta masyarakat untuk terus menerus bekerja sama dengan Institusi Kementerian/Lembaga (K/L) terkait dengan menyusun rencana jangka panjang, menengah dan jangka pendek melakukan upaya-upaya preventif, represif, edukasi dan pembenahan internal di tingkat desa dengan tujuan membebaskan desa dari tindak pidana korupsi

 

b. Saran

Karena pemberantasan korupsi desa melibatkan lintas Kementerian / Lembaga (K/L) yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian (Polri), Kejaksaan RI dan aparatur pemerintahan di tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota maka perlu adanya sinergitas dalam membuat regulasi tentang pengelolaan dana desa dan program program pencegahan korupsi desa yang mudah dipahami dan diimplementasikan oleh aparatur desa.

 

 

Daftar Pustaka :

1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen).

2. Undang Undang RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

3. Permendagri No. 20 Tahun 2018.

4. Andi Hamzah, 1991, Korupsi di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

5. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Balai Pustaka.

6. Komisi Pemberantasan Korupsi, Kapita selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi, Jakarta,2015.

7. Adami Chazawir, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Edisi revisi PT. Raja Grafindo Persana Jakarta, 2016.

8. P. Henry Indraguna,S.H.,C.L.A.,C.I.L. C.Med dan Kayarudin Hasibuan, S.H.,M.H. Memahami Tafsir Pasal Tipikor, Tras Mediacom, Jakarta. 2020.

9. Marwan Efendi, Pemberantasan Korupsi pada Good Governance, Timpani, Jakarta.

10. Pusat Edukasi Anti Korupsi, KPK, 2022.

11. Pandu Pramoe Karika, S.H. dkk. Korupsi Desa, Ruas Media (Genta Grup). Yogyakarta. 2020.

12. Instruksi Jaksa Agung RI (INSJA) Nomor 5 Tahun 2023.

13. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa.

14. Buku Pedoman Pengadaan Barang/Jasa di Desa. Direktorat Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengadaan Khusus, Lembaga Kebijakan Pengembangan Barang/Jasa Pemerintah.

15. Beberapa berita dari media online.

 

Berita/Pengumuman Mahkamah Agung


Sistem Informasi Penelusuran Perkara

SIPPAplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), merupakan aplikasi administrasi dan penyediaan informasi perkara baik untuk pihak internal pengadilan, maupun pihak eksternal pengadilan. Pengunjung dapat melakukan penelusuran data perkara (jadwal sidang sampai dengan putusan) melalui aplikasi ini.

Lebih Lanjut

Pencarian Dokumen Putusan di Direktori Putusan Mahkamah Agung

DirPutPencarian cepat Dokumen Putusan di Database Direktori Putusan Mahkamah Agung Agung Republik Indonesia

Pencarian Peraturan Perundangan, Kebijakan Peradilan dan Yurisprudensi

DJIHPencarian cepat peraturan dan kebijakan dalam Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia

 


Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas